Powered By Blogger

Kamis, 13 Januari 2011

LAPORAN PENGRUSAKAN MORAL DAN PENGORBANAN HAK MASYARAKAT PEMILIK TANAH ADAT UNTUK SETORAN APARAT KEPOLISIAN POLRES PANIAI DI ENOGOTADI/LOKASI 99 PENDU

I. PENDAHULUAN
Lokasi Pendulangan Emas Rakyat, berada di daerah Wilayah Hukum Pemerintahan Kampung Nomouwodide, Distrik Bogobaida Kabupaten Paniai Suku-suku yang dahulu mendiami sepanjang sungai terdiri dari beberapa etnis yang bahasanya pun berbeda sepanjang sungai dihuni oleh Suku Mee/Ekari. Suku Moni dan Wolani.
Daerah ini dahulu dibuka dengan pendekatan agama yaitu dengan pelayananan oleh Gereja KINGMI Papua, namun sejak tahun 2002, karena telah ditemukan cadangan butiran emas (alluvial gold) sehingga daerah ini telah menjadi terbuka bagi semua suku di Papua dan suku-suku lain di Indonesia. Kawasan penambangan (pendulangan) tradisional ini dikerjakan oleh masyarakat tanpa memalui suatu aturan (regulasi) yang jelas. Termasuk tidak adanya dasar hukum bagi kawasan penambangan masyarakat, maupun peraturan-peraturan daerah yang memiliki legitimasi. Sehingga situasi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dalam rangka mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kewajiban kepada negara (pemerintah). Sangat disayangkan karena hal ini telah beralngsung cukup lama, namun seakan-akan terjadi kesan ”PEMBIARAN” oleh semua instansi terkait. Baik pemerintah daerah, pihak kepolisian, pihak otoritas perhubungan udara dan sebagainya.
Kondisi ringkas di lokasi pendulangan emas tradisional, adalah sebagai berikut:
Terdapat banyak kios yang dimiliki oleh pengusaha Bugis, Makasar. Dan juga beberapa orang Papua
Terdapat perempuan pelayan di karoake dan bilyard dengan istilah yang di kenal disana Mangker (pramuria) yang juga dapat memberikan pelayanan Sex kepada pelanggan.
Peredaran Minuman yang beralkohol berjenis, Mansion House, Cap Tikus (CT; istilah masyarakat setempat) yang dikirim melalui Helicopter dari Nabire dan diduga dalam jumlah kecil di bawa juga melalui darat.
Dalam rangka mencari butiran emas para pendulang membuat terowongan-terowongan yang dkenal dengan istilah Pantongan sedalam 5 meter dan sepanjang 30 - 70 meter
Kawasan pendulangan tradisional yang disebut 99 dan Baiya Biru terdapat Pos Polisi yang merupakan Satuan Pengamanan lokasi pendulangan emas untuk aparat keamanan, atau itu mungkin merupakan tempat yang disiapkan untuk terjadinya konflik atau kekerasan di belantara Papua, untuk kemudian melegalkan kehadiran militer disana dengan dalih pengamanan karena daerah tidak aman, padahal hanya sekedar mempercepat dan pengambilan secara ilegal kandungan emas disana.

II. URAIAN PENGRUSAKAN MORAL
Daerah pendulangan Emas disepanjang Sungai Kemabu/Degeuwo dapat di analogikan ’gula yang menarik semua semut untuk berdatangan’, kegiatan pendulangan telah ikut menghadirkan berbagai macam orang dengan berbagai kepentingannya, tetapi yang lebih menonjol adalah mereka datang untuk mencari penghasilan sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara yang tidak benar secara ketentuan hukum, antara lain: mengedarkan dan menjual minuman beralkohol, membuka kios, rumah bordil (bar/prostisusi),
Terkait dengan usaha Pengrusakan Moral, jenis usaha yang dapat membuat pengrusakan moral antara lain adalah; peredaran MIRAS, Peredaran WANITA PENGHIBUR dan adanya bar, akan dipaparkan selanjutnya.

1. Peredaran MIRAS
Dalam kunjungan kami dari tanggal 11 sampai 14 April 2010, sejak kami menginjakan kaki di Helipad Ndeotadi 99 kami berjumpa dengan sekelompok masyarakat dalam keadaan mabuk mereka dalam jumlah yang cukup banyak, melihat kondisi tersebut kami meminta keterangan beberapa orang yang menurut kami dapat memberikan informasi yang akurat terkait dengan kebiasaan masyarakat dan pendulang serta pemasokan serta peredaran Minuman Beralkohol/MIRAS.
Dalam percakapan kami dengan orang yang kami meminta keterangannya di sebutkan bahwa, masyarakat pendulang baik Papua maupun Non Papua setelah memperoleh hasil kerja sering membeli dan mengkonsumsi minuman beralkohol/MIRAS walaupun harganya mahal tetapi tetap dibeli oleh para pendulang.
Kehadiran minuman beralkohol/miras juga merupakan sebuah rejeki bagi oknum aparat kepolisian, baik di KP3 Udara (POLSEK Bandara Nabire) maupun di Lokasi Pendulangan karena untuk setiap ada pemasokan minuman keras ada juga setoran setiap karton minuman yang dikirim yaitu; Rp. 500.000/karton, yang akan diterima oleh Pos (Pos Polisi baik di Nabire maupun Lokasi Pendulangan Emas), karena itu pemasokan dan peredaran minuman beralkohol/miras sangat bertumbuh dengan subur di daerah pendulangan emas Ndeotadi 99, tanpa ada penanganan dan penegasan dari aparat yang bertugas pada waktu itu.
Hal tersebut diperparah lagi dengan kebiasaan mengkonsumsi Minuman Beralkohol/MIRAS dari aparat kepolisian yang bertugas di POSPOL Ndeotadi 99, sehingga masyarakat mengkonsumsi MIRAS tanpa dilarang oleh petugas.
Perlu dipahami bahwa di Bandara Nabire terdapat penjagaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian KP3 Udara dari Polres Nabire, dimana seharusnya peran dan fungsi keamanan pada kawasan tersebut adalah mutlak milik sekuriti bandara, namun pada pelaksanaan di lapangan pos yang diperuntukan bagi pihak kepolisisan yang berada di depan ternyata tidak cukup, hingga merambah kebagian pintu (gerbang) samping bandara. Sedangkan pengamanan yang dilakukan belum maksimal dalam mencegah tindakan penyelundupan beragam tidak kejahatan. Kegagalan tersebut dibuktikan dengan masih seringnya para pendemo, pengunjuk rasa memasuki kawasan steril ini bahkan mendekati posisi parkir pesawat. Dalam laporan ini kami lampirkan insiden yang dilaporkan oleh seorang pilot pesawat milik swasta (perhatikan lampiran).

2. Tempat Hiburan Karaoke dan Miras
Ibarat ada gula ada semut, kehadiran tempat hiburan berupa karoake telah juga menghadirkan minuman beralkohol, ditempat hiburan tersebut hasil pantauan kami tercatat terdapat 14 karoake yang ada di Lokasi Ndeotadi 99 yang masih aktif, sedikitnya sekitar 6 karaoke di wilayah Baiya Biru kegiatan di tempat hiburan tersebut berlangsung setiap saat baik siang maupun malam tergantung jika ada pendulang ingin menggunakan tempat karoake maka akan dikenakan tarif sewakan perjam sebesar Rp.1.500.000; untuk mengamankan kegiatan ini maka pengelola juga memberikan setoran bulanan kepada Pos (POSPOL 99) sebesar Rp.1.000.000,- dan dahulu ada juga setoran pertiga bulan sebagai balas jasa atas diterbitkanya Surat Ijin Keramaian dari POLRES Paniai. Dengan adanya dukungan pengamanan tersebut maka kegiatan ini berlangsung dengan lancar karena telah ada pemberian setoran kepada oknum petugas kepolisian tersebut. Hal ini tentu saja telah mengakibatkan celah bahkan penyelewengan bagi pendapatan daerah. Fungsi pengambilan pajak, maupun restribusi seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah melalui instansi terkait. Bukan oleh pihak keamanan.


3. Kehadiran Wanita Penghibur
Sejalan dengan adanya tempat hiburan tersebut pemilik juga tidak kehilangan akal untuk melengkapi pelayanan didalam tempat hiburan tersebut dengan mendatangkan wanita penghibur (pramuria) untuk dipekerjakan sebagai pelayan. Mereka ini sebagian didatangkan dari salah satu daerah di Sulawesi Utara dan terdapat juga yang berasal dari Jawa Barat melalui transportasi laut, diindikasikan para pengusaha yang mendatangkan mereka diminta untuk melaporkan kedatangan wanita penghibur ini kepada kantor Poilisi setempat guna di data dan diberikan kartu pengenal.
Pelayan wanita ini menurut istilah lokal disebut dengan ’mangker’ bekerja dengan dengan sistem kontrak selama 3 (tiga) bulan, setelah itu mereka yang sudah selesai bisa meninggalkan lokasi tetapi bagi yang mau melanjutkan berarti kontraknya diperpanjang, terkait juga dengan Mangker tamu bisa saja mengajak kawin para mangker dengan cara membayar kepada pengusaha yang mendatangkan sebesar Rp.10.000.000,- (Lih Surat POSPOL 99, lampiran).
Setoran yang diperoleh POSPOL setiap mendatangkan Mangker adalah Rp.300.000/orang, hal ini di duga sama juga diterima oleh oknum anggota POLSEK BANDARA Nabire
Para mangker juga menyediakan dirinya untuk melayani laki-laki dengan imbalan sekali melayani Rp.500.000,-
Menurut informasi yang kami dapat juga terjadi juga Sex bebas yang terselubung di lokasi pendulangan emas hal itu diperkuat juga adanya pembelian alat tes kehamilan di salah satu kios yang menjual obat-obatan di Ndeotadi 99.
Upaya komersialisasi perempuan dan perdagangan perempuan sangat jelas dapat dilihat dari aturan yang harus dilaksanakan oleh para mangker yang di buat pada tanggal 18 Mei 2009, yang bunyinya antara lain:

• Point 5 = Apabila anda ketahuan ataupun kedapatan berhubungan seks dengan laki-laki siapa saja anada dikenakan denda sebesar Rp.2.000.000,- di tambah dengan uang Flait sebesar Rp.2.500.000,- dan bagi laki-laki dikenakan denda sebesar Rp.4.000.000,- setelah itu anda di pulangkan.
• Point 6 = Apabila anda dikeluarkan dari tempat kerja anda pihak laki-laki harus membayar kepada BOS (Orang yang mendatangkan mereka) sebesar Rp.10.000.000,-.

Telah terjadi praktek (human trafficking) nyata-nyata tidak mendapat upaya tindakan hukum, seakan-akan terjadi pembiaran;
Hal ini jelas-jelas terdapat konspirasi pengrusakan moral, komersialisasi perempuan serta perdagangan perempuan antara pengusaha dengan oknum aparat kepolisian
Adapun alibi yang digunakan oleh para pendulang (pekerja tambang tradisional) mengatakan bahwa karena kegiatan penambangan sering kali dilakukan pada malam hari di daerah dingin(elevasi sekitar 2000 kaki dari permukaan laut), sehingga mereka mengkonsumsi minuman beralkohol guna melawan meningkatkan ketahanan tubuh dalam udara dingin. Juga menyangkut wanita penghibur ini dimungkinkan juga untuk mencegah tindakan pemerkosaan yang tidak pada tempatnya. Sehingga guna menyalurkan hasrat biologis para penambang inilah diperlukan kehadiran wanita-wanita tersebut. Padahal hal ini cukup bertentangan dengan keterangan yang kami peroleh, bahwasanya sering kali pemicu pertengkaran adalah tidak terkontrolnya tingkah laku masyarakat setempat apabila telah mengkonsumsi alkohol. Sehingga suatu persoalan sepele bisa berakhir dengan penyelesaian yang rumit dan berbuntut panjang. Yang mana hal ini turut juga dibenarkan oleh oknum petugas keamanan di lokasi-lokasi tersebut.

III. URAIAN PENGORBANAN HAK MASYARAKAT PEMILIK TANAH

Masyarakat pemilik tanah di daerah Ndeotadi 99 adalah masyarakat Suku Wolani, lokasi ini dibuka pada tahun 2006 dan telah terjadi pembayaran oleh Pengusaha Budiman HM kepada masyarakat Suku Wolani yaitu kepada Alm. Salmon Ematapa, Ibu Magai, dll. Dalam pekerjaannya pengusaha Budiman HM, memberikan kemudahan kepada Ibu Magai untuk membangun kios dan memberikan pantongan juga kepada Alm. Salmon Ematapa, untuk mengambil hasil emas dari pantongan tersebut. Awalnya lokasi ini ingin dikelola sendiri oleh Pengusaha Sdr.Budiman HM, tetapi akibat persaingan bisnis maka diduga ada pengusaha lain ikut membuat hadirnya pedagang dan pengusaha lain masuk ke lokasi 99, akhirnya tidak dapat dibendung banyak pedagang juga berdatangan ke lokasi ini, membuat Budiman HM memilih mengundurkan diri dari Lokasi 99, dan lokasi ini di jadikan sebagai Lokasi bebas.
Menurut keterangan yang kami peroleh pemilik tanah lokasi Ndeotadi 99 adalah Matias Nagapa dan Alm. Obaja Kegepe, namun dalam pembayaran lokasi selalu mereka tidak diperhitungkan tetapi mereka dikorbankan oleh saudaranya yang lain hanya karena asalnya sama dari Suku Wolani dan sesama lainnya, sehingga mereka hanya bisa menonton orang lain menjadi maju di tanah lahirnya/leluhurnya.
Dari pembicaraan kami dengan pemilik tanah Sdr.Matias Nagapa kami telah mendapatkan informasi bahwa dia biasanya menerima uang lokasi yang diambil oleh saudara-saudaranya, tetapi jumlahnya kecil tidak seperti yang seharusnya dia terima.

IV. LANGKAH STRATEGIS PENGORBANAN HAK PEMILIK TANAH
Pengorbanan Hak-Hak Pemilik Tanah Adat juga dilakukan, antara lain dengan cara antara lain:

1. Setoran Kepada Polisi
Dalam rangka memberikan pengamanan terhadap sebuah kegiatan atau daerah biasanya polisi menempatkan Pos Polisi disebuah tempat atau daerah, dengan alasan untuk mengantisipasi terjadinya kerawanan KAMTIBMAS, dalam rangka dan untuk itulah POLRES Paniai menempatkan 2 buah Pos Polisi di daerah Pendulangan Emas Kampung Nomouwodide, Distrik Bogobaida,Kabupaten Paniai yaitu: Ndeotadi 99 dan Baiya Biru.
Dalam pelaksanaan tugas mereka sangat tergantung oleh Pimpinan dari Pos Polisi tersebut, jika dia mempunyai moral yang baik maka tidak akan ada barang-barang yang dapat merusak moral dan juga jika Pimpinan tidak mempunyai kepentingan bisnis maka tidak akan ada setoran-setoran dari barang-barang yang dijual seperti: Minuman Beralkohol/MIRAS, Mangker, dan setoran-setoran dari Kios serta tempat hiburan kecuali Pimpinannya di POLRES menuntut mereka untuk menjalankan setoran untuk kepentingan pimpinannya, maka sebagai anak buahnya akan melaksanakan perintah tersebut.

Dari laporan yang kami terima dari masyarakat di daerah Ndeotadi 99. Saat kami berada disana pada tanggal 11 April sampai dengan 14 April 2010, pada waktu DANPOSPOL 99 di jabat oleh Sdr. Ridho selama 7 bulan tidak banyak MIRAS yang beredar di lokasi 99, tetapi sejak diganti banyak MIRAS, Mangker juga yang berdatangan ke sana, lebih parah ketika DANPOSPOL oleh seorang Anak Asli Papua yang pada tahun 2009, banyak MIRAS beredar, karoake plus tumbuh subur, para mangker banyak yang berdatangan kesana, yang mempunyai konsekuensi dari adanya ijin keramaian dari POLRES Paniai, yaitu adanya setoran-setoran antara lain:
• Miras = Rp. 500.000.-/Karton
• Mangker = Rp. 300.000,-/orang/landing
• Kios = Rp. 500.000,-/Kios
• Karoake = Rp.1.000.000,-/Karoake
• Karoake = Rp. 3.000.000,-/Triwulan
• Uang Makan = Rp. 150.000,-/Minggu/Kios
Jumlah Kios
• Dahulu = 35 Kios
• Sekarang = 24 Kios
Jumlah Karoake
• Dahulu = 21 Karoake
• Sekarang = 12 Karoake
(Sedangkan di Baiya Biru sendiri dari sekitar 30 karaoke/bar sekarang yang aktif tidak lebih dari 10)
Menurut info salah seorang Pengusaha KAPOLRES Paniai mendapat setoran dari semua pengusaha kios dan tempat hiburan Rp.30.000.000.-/bulan
Sejak POSPOL Ndeotadi di tutup pada bulan January 2010, dan semua anggotanya di tarik, tetapi dua bulan yang lalu (Pada bulan Februari) datang seorang anggota POLRES Paniai untuk menagih setoran di Ndeotadi 99.
Pasca ditutupnya POSPOL Ndeotadi 99, setoran-setoran yang dahulu di terima oleh POSPOL Ndeotadi 99 saat ini diterima oleh Kepala Suku Tomi Tabuni dengan rincian sebagaai berikut:

• Miras = Rp. 500.000.-/Karton
• Mangker = Rp. 300.000,-/orang/landing
• Kios = Rp. 300.000,-/Kios
• Karoake = Rp. 300.000,-/Karoake

2. Tagihan Tokoh-tokoh Masyarakat
Pengetahuan masyarakat yang masih rendah itu juga dimanfaatkan oleh orang-orang yang selama ini mengaku sebagai Tokoh Masyarakat juga orang lain yang bukan berasal dari daerah Ndeotadi 99, hal itu dapat dibaca dengan jelas dengan gambaran di atas dan juga di akui oleh Kepala Suku Tomi Tabuni di Lokasi Ndeotadi 99, yaitu adanya tuntutan Pajak Bumi. Uang Dusun dan sebutan lain yang di pungut oleh beberapa orang di lokasi Ndeotadi 99 sejak di tetapkan sebagai lokasi bebas.
Lokasi 99 ini menjadi lokasi bebas juga telah memberikan peluang kepada masyarakat yang lain untuk meminta uang lokasi lagi kepada Pengusaha/Pedagang lainnya maka muncul juga tuntutan dari masyarakat antara lain oleh Alm.Salmon Ematapa yaitu adanya Pajak dusun terhadap 34 pengusaha selama 7 bulan sebulan Rp.3.000.000, sehingga diperkirakan Alm. Salmon Ematapa memperoleh uang sebesar Rp.300.000.000,- kemudian muncul juga tuntutan uang dusun kepada pengusaha/ pedagang, maka mereka juga mengumpulkan dana sebesar Rp 80.000.000,- dan uang itu diserahkan kepada Sdr. Maks Adii, Ibu Magai, Matias Nagapa dan dibagikan kepada semua pihak yang merasa berhak atas uang tersebut sehingga di bagi kepada Pihak yang survey, Pemilik Tanah, dan mereka juga membuat pernyataan untuk tidak akan menagih lagi uang lokasi kepada Pengusaha dan Pedagang. Namun sayang beberapa bulan kemudian muncul lagi tuntututan uang dusun dari Ibu Magai juga datang menagih, Masyarakat dusun 500.000/Kios 2 minggu lagi menagih pajak 500.000/Kios, sehingga diperkirakan Ibu Magai telah menerima uang lokasi sekitar Rp.40.000.000 sampai dengan Rp.50.000.000,-

Pasca ditutupnya POSPOL Ndeotadi 99, setoran-setoran yang dahulu di terima oleh POSPOL Ndeotadi 99 saat ini diterima oleh Kepala Suku Tomi Tabuni dengan rincian sebagaai berikut:
• Miras = Rp. 500.000.-/Karton
• Mangker = Rp. 300.000,-/orang/landing
• Kios = Rp. 300.000,-/Kios
• Karoake = Rp. 300.000,-/Karoake

Hal ini menunjukan bahwa ada kelompok suku lain dan juga sesama lain mengorbankan hak pemilik tanah untuk kepentingannya sendiri, sehingga kondisi ini jelaslah bahwa Pengusaha menjadi Sapi Perah dari oknum anggota POLRES Paniai dan Tokoh- tokoh Masyarakat.

V. PENUTUP
Mengakhiri laporan ini, perlu kami sampaikan beberapa kesimpulan antara lain :
1. Terjadi Pengrusakan Moral yang sistematis yang melibatkan juga oknum anggota POLRES Paniai dengan adanya pemberian ijin keramaian yang berlabel Restaurant kepada Pengusaha di Ndeotadi 99 dan pengusaha dengan adanya Peredaran MIRAS dan
2. Adanya Perempuan Mangker yang sangat terkait juga dengan Ekploitasi Perempuan dan Perdagangan Perempuan di atur dengan adanya Aturan yang dikeluarkan oleh POSPOL POLRES Paniai di Ndeotadi 99
3. Masyarakat lain belum memahami benar akan siapa yang paling berhak atas hak kepemilikan tanah, tidak adanya pengakuan yang adil terhadap pemilik tanah dan juga pengusaha menjadi Sapi Perah dari Oknum anggota POLRES dan beberapa Tokoh Masyarakat.
4. Masyarakat Pemilik Tanah selama ini hanya sebagai Gambaran yang dijual oleh Pihak-pihak tertentu untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk kepentingan pemilik tanah,
5. Semua setoran yang diterima oleh pihak POLRES Paniai dengan dalih apapuan harus segera di hentikan dan Pengusaha haruslah memberikan kepada Pemilik Tanah.
6. Belum adanya ketegasan/ political will dari pemerintah yang dapat melindungi kepentingan masyarakat sehingga sumber daya agraria tidak dapat di kuasai oleh pendatang dan aparat militer.
7. Perlunya LAW END FORCEMENT kepada pelaku tindakan pelanggaran hukum, baik oleh aparan maupun masyarakat.

Berdasarkan beberapa kesimpulan tersebut diatas maka rekomendasi yang dapat di berikan adalah :
1. Hentikan semua Pengiriman MIRAS dan PERDAGANGAN WANITA di semua Lokasi Pendulangan Emas, dan untuk itu di BANDARA Nabire perlu ditertibkan pengaturan menyangkut keselamatan penumpang (helipad pada lokasi penambangan masyarakat sangat tidak aman) , juga keselamatan aset penerbangan dan penempatan Tim dari Masyarakat yang bertugas melakukan Inspeksi dan Pengawasan terhadap orang dan barang yang dikirim ke Lokasi pendulangan Emas.
2. Pembuatan PERDA oleh pemerintah setempat agar terdapat tugas dan tanggung jawab yang sama dan konsisten.
3. Perusahaan Penerbangan Helicopter yang beroperasi ke lokasi pendulangan emas haruslah menerima pemuda asal daerah pendulangan emas sebagai karyawan di helicopter tersebut.
4. Para pengusaha harus segera membuat Kesepakatan yang saling menguntungkan dengan Pemilik Tanah yang benar-benar berhak di Lokasi Pendulangan yang disaksikan oleh semua pihak di fasilitasi oleh Dewan Adat Daerah Paniyai.
5. Segera dilakukan penarikan terhadap aparat keamanan baik yang secara aktif maupun tidak melakukan pengamanan ataupun pengambilan emas dilokasi pendulangan kepada kesatuannya dan ditindak sesuai hukum yang berlaku.
6. Segera dibentuk Badan pengawasan pendulangan emas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar