Partai politik atau PARPOL secara praktek merupakan wadah legal di suatu Negara yang berfungsi untuk mendidik, mengarahkan, dan menanamkan ideologi kepada seluruh Kader wadah tersebut, agar kelak dapat bertugas sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas tugas dan tanggung jawagnya dimanapun ia berada, dan bekerja. Disamping itu Partai Politik juga merupakan wadah legal yang dapat mengantarkan seseorang hingga tampuk Eksekutif, maupun Legislatif sesuai mekanisme yang ada di suatu Negara.
Indonesia merupakan suatu Negara yang tak luput akan hal itu, berkaitan dengan dunia perpolitika di Indonesia secara rill, berlaku “Sistem Multipartai”, dan mekanisme pemilihannya menggunakan “Sistem Demokrasi”, dimana seluruh rakyat dilibatkan di dalam pemilihan calon Eksekutif, maupun Legislatif yang dilakukan serempak di seluruh wilayah Indonesia jika untuk Pusat, dan akan disesuaikan dengan mekanisme di Daerah jika untuk Daerah. Menyangkut praktek dan mekanisme pemilihan Eksekutif, dan Legislatef dari Pusat hingga Daerah dijalankan oleh suatu tim yang disebut “Komisi Pemilihan Umum” (KPU), segala aktifitas tersebut di Negara Indonesia dilandasi dengan aturan formilnya masing-masing, karena Indonesia adalah Negara Hukum, sesuai anjuran Konstitusinya.
Berkaiatan dengan “Sistem Multipartai” yang diterapkan di Negara Indonesia sungguh sangat memprihatinkan sebab dengan itu, proses pengkaderan yang dijalan kurang mampu melahirkan calon-calon Legislatif, dan Eksekutif yang dapat menjawab segala kebutuhan umum masyarakat di seluruh Indonesia, hal ini sangat jelas Nampak sebab dengan berjalannya Sistem Multipartai selama dua periode penderitaan masyarakat belum juga teratasi, malahan dengan diterapkannya sistem tersebut banyak menimbulkan penyakit-penyakit politik diantaranya;“Ganguan jiwa, Perkelahian antara pendudukung, Permusuhan antara Tokoh Masyarakat, Kehidupan masyarakat hanya bergantung pada uang akibat Manipulasi Suara, dan lain-lainnya”.
PARPOL, Legislatif, Eksekutif, serta Masyarakat dalam prakteknya memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan, sebab “Parpol” ibarat kendaraan yang dapat menggantarkan seseorang (Calon Legislatif, dan Calon Eksekutif), hingga pada terminal tujuan yaitu “Legislatif, dan Eksekutif”, melalui jalan “Pemilu” dimana kendaraan itu memiliki mesin-mesin yang memiliki banyak onderdil (Kelengkapan Partai), dimana onderdil-onderdil ini memiliki harga yang beraneka ragam (Aliran Dana), namun disini akan dibatasi hanya pada beberapa kebutuhan pokok dari kendaraan itu diantaranya Harga Bensin (Dana) dan Ongkos Pengemudi (Hutang Politik). Harga bensin biasanya di peroleh dari pemilik kendaraan yang diperolehnya dari beberapa donaturnya yang kurang jelas identitasnya, sedangkan ongkos pengemudi akan diperolehnya dari penumpang ketika tiba di terminal tujuan. Penumpang disini memiliki Dana (Suara) dari rakyat melalui sumbangan yang diperolehnya dari setiap individu dimana penumpang itu berasal, dari tempat lain yang telah mengenalnya melalui media massa dan lain sebagainnya. Rupanya demikian Kesan yang dapat disimpulkan dari Hubungan antara Parpol, Calon Legislatif, Calon Eksekutif serta Rakyat di Indonesia, hubungan tersebut tidak akan putus sepanjang sejarah Negara penganut Teori Triaspolitika berada di dunia.
Papua adalah salah satu wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kekayaan alamnya amat berlimpah ruah dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia, sehingga wilayah tersebut dijaga sangat ketat oleh Jakarta melalui pendekatan militeristik yang dibungkus dengan OTSUS agar terkesan halus secara Atministrasi Pemerintahan, hal itu sengaja di terapkan untuk membendung “Aspirasi Merdeka Masyarakat Papua”, dan disamping itu untuk menjaga wilayah papua tetap berada di dalam bingkai NKRI agar selalu memberikan sumber pemasuk fiscal (Keuangan) terbesar bagi Negara Indonesia, dengan cara mengeksploitasi kekayaan alamnya tanpa menghargai keberadaan Masyarakat Papua.
Sebagai bagian dari Negara Indonesia, wilayah papua juga tidak luput dari praktek perpolitikan di Indonesia. Pada tanggal 29 Januari 2010, jam 10 pagi, di ruangan sidang Dewan Perwakilan Daerah Propinsi Papua telah di lantik para Legislatif yang telah dipercayakan melalui Pemilihan Umum Legislatif 2009, dengan demikian maka tanggung jawab segala persoalan Umum di Bidang Fiskal, Ekonomi, Sosial, Budaya, Kesehatan, Pendidikan, Pertahanan dan Keamanan, dan bahkan Politik, serta Hubungan Internasional di Tanah Papua menjadi tanggung jawab mereka.
Namun amat di sayangkan karena dengan diterapkannya “Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Papua” (selanjutnya akan dikatakan UU. OTSUS), sebagian tugas dan tanggung jawab Eksekutif, dan Legislatif yang dikategorikan amat fatal bagi kehidupan Masyarakat Papua di pangkas oleh Pemerintah Pusat diantaranya;“Bidang Fiskal, Pertahanan dan Keamanan, dan Hubungan Internasional”.
Era Otonomi Khusus di Tanah Papua telah berjalan selama 9 tahun, namun hingga saat ini belum juga terwujud aturan pelaksana di Propinsi Papua sesuai dengan tata urut peraturan Per-Undang-undangan di Negara Indonesia pasca diberikannya OTSUS. Hal ini sangat jelas Nampak karena hingga saat ini perumusan PERDASI, dan PERDASUS tak kunjung usai, perlu diketahui bahwa PERDASI, dan PERDASUS merupakan Aturan Legal Formil yang wajib di sahkan pasca diberlakukannya UU OTSUS, sebab kedua draf ini selanjutnya akan berlaku sebagai aturan teknis di seluruh wilayah Propinsi Papua, serta akan menjadi “Dasar Sahnya Ketentuan” yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang didirikan sesuai rujukan UU OTSUS seperti “MRP, DAP, LMA, dan PERDA TK I yang merujuk pada UU OTSUS”, jika kedua draf ini belum di sahkan maka secara hukum seluruh ketentuan yang dikelurkan oleh lembaga-lembaga yang telah disebutkan diatas dinyatakan “Tidak Sah Demi Hukum”, salah satu bukti tidak sahnya lembaga-lembaga tersebut jelas terlihat saat di gugatnya salah satu pasal dalam UU OTSUS pada tahun 2006 oleh MRP, namun tidak di indahkan, bahkan tidak dihiraukan (diputuskan) oleh Mahkama Agung Republik Indonesia.
Telah diketahui bersama bahwa Indonesia adalah Negara hukum, sesuai dengan anjuran Pasal 3 UUD 1945 sehingga untuk menyelaraskan status Negara Indonesia sebagaimana disebutkan diatas, dalam kehidupan riil…..!!!, maka diwajibkan adanya aturan teknis di seluruh wilayah Indonesia agar dapat terwujud status Negara Indonesia sesuai anjuran pasal 3 UUD 1945, namun jika dalam penerapannya tidak diatur lebih lanjut maka bagi saya hal itu kemudian akan melumurkan citra Negara Indonesia sebagai Negara hukum (Rechtsstaat), dan selanjutnya citra Negara Indonesia secara otomatis akan beralih status menjadi Negara Tanpa Hukum (Machtsstaat).
Dengan diberlakukannya UU. OTSUS maka aturan yang lebih atas “Selain Konstitusi” tidak diakui penerapannya, karena telah jelas bahwa masalah Rumah Tangga dalam konteks Atministrasi Pemerintahan di Tanah Papua akan dibahas sendiri oleh Pemerintah Daerah Propinsi Papua, dan Pemerintah Kota/Kabupaten di dalamnya, sehingga Teori Hukum tentang Aturan Hukum yang di bawah, harus mengikuti Aturan Hukum yang di atas “Lex Spesiali De Rogat Legi Generali”, secara otomatis tidak berfungsi disana.
Di dalam prakteknya terdapat beberapa kegiatan-kegiatan yang mencerminkan jalannya UU OTSUS seperti didirikannya MRP, dicairkannya Dana OTSUS yang langsung di berikan kepada seluruh Kepala desa di seluruh wilayah Papua, dan lain-lain yang diduga merupakan penerapan dari pada UU OTSUS, amat mengherankan karena tidak ada Dasar Hukum pelaksanaannya (PERDASI, dan PERDASUS) di wilayah Propinsi Papua. Sehingga dengan jelas bahwa telah terjadi “Peghianatan” terhadap Konstitusi Negara Indonesia, dan secara otomatis status Negara Indonesia sebagai Negara Hukum telah beralih menjadi Negara Tanpa Hukum dalam penerapannya di Tanah Papua. Selanjutnya menyangkut seluruh kegiatan diatas secara hukum dinyatakan “Cacat Hukum”, sehingga perlu di gugat keabsahan.
Berkaitan dengan penerapan beberapa kegiatan diatas, yang telah berjalan sejak di berikannya UU OTSUS, akan muncul pertanyaan kepada pihak-pihak yang berkepentingan yaitu; Apakah telah sah sesuai prosedur Hukum di Negara Indonesia jika Dasar pendirian MRP, Pencairan Dana Otsus, dan lain-lainnya disahkan mengunakan “Intruksi Presiden, Intruksi Kepala Daerah/Putusan Mahkam Konstitusi terkait Penambahan 11 Kursi Legislatis peride 2010-2014 sebagai dasar sah berlakunya UU OTSUS Januari 2010”, sebelum adanya aturan teknis (PERDASI dan PERDASUS) di wilayah Papua ?, selain itu terhitung sejak disahkannya OTSUS masih saja terdapat campur tanggan Eksekutif pusat sebagai contoh yaitu; disahkannya Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Pelarangan Lambang Daerah, kedua hal ini secara hukum “Tidak Dibenarkan”, dan secara terang-terang telah terjadi “Pelecehan” terhadap UU OTSUS.
Menurut Hukum Tata Negara Indonesia, dalam Negara Indonesia terdapat 3 (tiga) Kekuasaan Tinggi Negara yaitu; Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif yang merujuk pada “Teori Triaspolitika” (Pemisahaan Kekuasaan). Berdasarkan Teori Triaspolitika maka dapat dikategorikan bahwa “Intruksi Presiden, Putusan Mahkam Konstitusi terkait Penambahan 11 Kursi Legislatis peride 2010-2014 sebagai dasar sah berlakunya UU OTSUS Januari 2010” Intruksi kepala Daerah” sebagai aturan sepihak yang hanya mewakili Lembaga Eksekutif (Pusat dan Daerah), sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat tidak dipercayakan untuk merumuskan Draf PERDASI dan PERDASUS, berkaitan dengan itu maka akan tibul beberapa pertanyaan diantaranya;
1. Apakah DPRD Papua tidak memiliki Fungsi Legislasi, Fungsi Pengawasan, Fungsi Budged ataukah fungsi-fungsi itu hanya dimiliki oleh Anggota DPR-RI, dan ataukah bahkan DPRD Papua tidak mengetahui akan adanya fungsi-fungsinya tersebut ?,
2. Apakah Anggota DPRD Papua tidak mengetahui cara merumuskan Draf PERDASI dan PERDASUS ?,
3. ataukah seluruh Anggota DPRD Papua telah disuap, untuk tidak merumuskan Draf PERDASI dan PERDASUS?,
4. ataukah seluruh Anggota DPRD Papua telah di “Teror” oleh alat Negara Indonesia (TNI/POLRI), untuk tidak merumuskan Draf PERDASI dan PERDASUS ?,
5. ataukah ada penekanan oleh Partai Politik, masing-masing Anggota DPRD Papua, untuk tidak merumuskan Draf PERDASI dan PERDASUS ?,
Dengan demikian maka jelaslah bahwa Keberadaan Legislatif, Eksekutif, dan Pendirian MRP, DAP di Propinsi Papua hanyalah formalitas belaka, untuk mengenapi Teori Triaspolitika di Negara Indonesia, dan untuk meyatakan ke publik bahwa UU OTSUS telah diterapakan, demi menjawab segala persolana di Tanah Papua. Berhubung dengan hal diatas amat benar kemudian jika ada yang mengatakan bahwa pemberian UU OTSUS hanyalah untuk membunuh, merampok, dan menginjak-injak Hak-hak Asasi Manusia Papua, serta hanya untuk mengarahkan masyarakat Papua hidup bergantung kepada Uang, agar kemudian dapat diterapkan “Polik Devide Et Impera” (adu domba) antara Masyarakat Papua itu sendiri, dengan cara menerima dan mensahkan usulan pemekaran Propinsi, Kabupaten, dan lain-lain di Papua oleh Birokrat Lokal yang kalah percaturan politik dalam PILLEG/PILGUB/PILKADA, tanpa menguji standar kelayakan terbentuknya suatu Propinsi/Kabupaten, dengan maksud terselubung yaitu untuk menampung manusia Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan lain-lain yang memiliki jumlah penduduk sangat padat, serta menempatkan Alat Negara (TNI/POLRI) diseluruh wilayah Papua.
Di samping itu ada suatu rencana sistematis yang telah lama ditetapkan oleh Proklamator Indonesia Ir. Soekarno dalam pidatonya di alun-alun utara, Yogyakarta, pada tanggal 17 Agustus 1962 bahwa segera men-Indonesia-kan pulau papua, yang sejak awal diwujudkan dengan Pendekatan Militeristik dengan penetapan status DOM bagi wilayah Papua, serta mengirim Trasmigrasi ke Papua. hal itu kini telah semakin jelas terjawab bahwa tujuan dari seluruh rangkaian kegiatan dari tahun 1963-2001 yaitu untuk mengorbankan Masyarakat Pribumi Papua di atas tanahnya sendiri.
Kini kami segenab Masyarakat Pribumi Papua, baik perorangan maupun Badan Hukum (MRP, DAP, LMA) yang telah berpartisipasi dalam PEMILU LEGISLATIF 2009 hanya mengharapkan, agar para Legislatif Propinsi Papua yang telah di lantik pada tanggal 29 Januari 2010, dapat mengambil pengalaman dari kinerja Legislatif periode kemarin sebagai bahan pembelajaran yang berharga, agar dapat bertindak selayaknya anggota Legislatif yang memiliki “fungsi Legislasi, fungsi Pengawasan, fungsi Budged”, demi kebutuhan umum Masyarakat Pribumi Papua bukan Non Pribumi Papua. Selain itu untuk dicamkan bahwa Legislatif Propinsi Papua bukan di pilih oleh Partai Politik, bukan juga oleh Binatang, dan bukan Orang di Jakarta, melainkan anda di pilih oleh Masyarakat Pribumi Papua untuk menjadi penyambung lidah Masyarakat Papua, secara khusus untuk merumuskan Draf Legislasi Papua di masa OTSUS yaitu PERDASI dan PERDASUS, secara umum aturan-aturan lainnya sesuai kebiasaan Masyarakat Pribumi Papua, bukan kebiasaan orang Jawa, Sumatra, Sulawesi, Pemeritah Pusat, dan lain-lainnya
OLEH
REVO & WISSEL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar